ULAMA NUSANTARA

KH Abdul Hannan Ma’shum Ulama Dari Kwagean

Profil Ulama | KH Abdul Hannan Ma’shum Ulama Dari Kwagean

Kelahiran dan Kehidupan Awal

KH. Abdul Hannan Ma’shum dilahirkan dalam lingkungan keluarga petani di desa Boto Putih, Kecamatan Canggu.

Sebagai anak keempat dari dua belas bersaudara, ia mengibarkan tali kehidupan dari Bapak Ma’sum, buruh tani dan penjual kelapa, serta Ibu Siti Nu’amah, penjahit.

Para saudaraninya berdomisili di sekitar, mulai dari Bapak Khozin di Boto Putih hingga Ibu Istiqomah di Bringin Pare.

Sejumlah saudaranya telah berpulang sebelum namanya sempat tercatat oleh penulis.

Sejak masa kanak-kanak, KH. Abdul Hannan Ma’shum telah membuktikan ketulusan dan ketekunannya melalui keseharian yang diisi dengan berbagai pekerjaan fisik, bahkan rela menjadi buruh tani menanam singkong demi beberapa singkong sebagai upah, hingga lulus Sekolah Rakyat.

Perjalanan Cinta dan Keluarga

Pada usia 27 tahun, KH. Abdul Hannan Ma’shum menjalin ikatan suci dengan Miftahul Munawaroh, gadis asal Dusun Kwagean, yang merupakan putri tunggal pasangan H. Anwar dan Hj. Asmurah.

Pernikahan itu memberinya keberkahan berupa anak-anak, meskipun salah satu di antaranya, Ning Nur Habibah, telah meninggal dunia.

Pendidikan dan Pengabdian

Pendidikan sang kiai dimulai di Sekolah Rakyat, dilanjutkan di Madrasah Wajib Belajar, dan kemudian di Pondok Pesantren Roudlotul ‘Ulum Kencong yang diasuh oleh KH. Ahmadi dan KH. Zamroji Syaerozi.

Di sanalah ia mengabdi selama 15 tahun, mengasah ilmu dan menjalankan riyadhah rohani. KH. Abdul Hannan Ma’shum juga dikenal karena keteguhan hatinya dan dedikasinya dalam menyelesaikan pendidikan tingginya meski ekonomi keluarga tidak mendukung.

beliau sudah pernah mengaji “Sullam At-taufiq”, Tashrif istilahi dan lughowi bahkan beliau menghafalnya, disamping itu juga beliau sudah pernah mendapatkan ijazah serta mengamalkan Selawat Nariyah 4444 x dalam satu majelis.

Dari barokah selawat tersebut, pernah beliau dicari teman-temannya, akan tetapi tidak bisa menemukannya, padahal beliau hanya dikamar itu. Setelah yang mencari gurunya yang memberi amalan tersebut (Mbah Dul) barulah mereka bisa menemukanya.

Karena keadaan ekonomi keluarga yang paspasan beliau jarang sekali mendapatkan kiriman dari orang tua, hanya kadang kala dua atau tiga bulan sekali dikirim beras dari rumah sekitar 10 Kg. dan 4/5 butir kelapa.

Dengan rasa penuh semangat adik beliau (KH. Romdli Anwar) selalu mengantarkan kiriman tersebut ke Pondok tersebut. Itupun hanya berjalan sekitar 6 tahun.

Tepatnya pada tahun 1971 M beliau dipanggil oleh Ibunda tercinta perasaan sedih dan kasihan ibunda berkata ”Nak..! Wes, kowe muliho wahe, Mak wes ora kuat ngragati maneh, gentenan karo adikmu” (Nak…! Sekarang pulang saja, ibu sudah tidak mampu membiayaimu lagi, gantian dengan adikmu. Red.).

Dengan mantap dan tanpa rasa takut sedikitpun beliau menjawab “Mak, kulo nyuwun pangestune mawon” (Sudahlah Bu, saya minta do’a restunya saja, Red). Bekal beliau hanyalah tekad dan niat yang teguh. Dengan meneruskan belajarnya lagi ± 9 tahun.

Dengan tekad yang kuat segala usaha pun dilakukan demi kesejahteraannya di Pondok tanpa menggantungkan pada orang tua, dalam masa itu beliau menjadi buruh menulis Kitab Alfiyah serta keterangannya, ± 100 buku pernah ditulisnya demi memenuhi kebutuhannya. Selain usaha dzohir juga usaha batinpun dilakukannya, bermacam-macam riyadhohpun beliau jalani demi cita-cita, antara lain :

Puasa ngrowot (makanan selain bera ) selama 41 hari berturut-turut ± 10 tahun.
Puasa tarkudziruh (makanannya tidak berasal dari hewani)
Puasa mutih selama 41 hari berturut-turut
Tidak pulang selama 3 tahun
Sholat jamaah dengan menemui takbirotul ihromnya Imam ( + 3 tahun)
Khidmah (Membantu dipesantren dan ndalem kiai)
Dengan semangat dan didasari kecintaan pada ilmu beliau juga dapat menghafal Alfiyah 1002 bait dan ‘Uqudul juman 1010 Bait. Pendidikan keras dan santun yang diajarkan sang guru membentuk karakter beliau menjadi seorang yang demokratis dalam berfikir. Beliau pernah dipanggil oleh pengasuh (KH. Zamroji) dan dinasehati :

“Saiki totonen kitabmu mulai cilik nganti gedhe” (sekarang tatalah kitabmu mulai yang kecil sampai yang besar, red).

“Ora usah poso-posoan, selagi iseh kuat mbancik ora usah mangan” (tidak perlu berpuasa, selagi masih kuat berdiri jangan makan, red).

“Nek dijalu’i ngaji sopowae gelemo, senajan jam 12 bengi” (ketika dimintai mengaji siapa saja, terimalah meskipun jam 12 malam, red).

Beliau merupakan orang yang mandiri dan tekun, sebagai Abdul Hanan muda yang hormat dan sangat ta’zhim pada sang guru. Beliau menunjukkan itu semua tak ketinggalan jiwa sosialnya, baik pada teman/kawan santri maupun pada Pesantren yang membimbing dan mendidiknya diantaranya sebagai tukang sapu, penimba kolah, pengajar al-Qur’an dan juga merangkap sebagai bendahara.

Dengan didasari ketekunan dan keseriusan, beliau ditunjuk sebagai Kepala Madrasah dan Dewan Hakim, disamping mengurus lampu-lampu untuk penerangan Pondok Pesantren.

Selain mengaji di Pondok yang diasuh KH. Ahmadi dan KH. Zamroji, beliau juga pernah mengaji tabarrukan Bulanan di Pondok lain seperti Pondok Pesantren Bathoan asuhan KH. Jamal, Pondok Pesantren Mranggen asuhan KH. Muslih, Pondok Pesantren Lirboyo asuhan KH. Mahrus Ali, dan Pondok Pesantren Sarang.

Mendirikan Pesantren

Setelah menikah, KH. Abdul Hannan Ma’shum memulai mengadakan pengajian di rumah mertuanya sebelum akhirnya mendirikan Pondok Pesantren Fathul ‘Ulum.

Pondok ini tidak hanya berdiri sebagai tempat menuntut ilmu tapi juga mengajarkan nilai-nilai hidup yang bermanfaat, mendukung pembentukan karakter yang demokratis dan mandiri.

Setelah melaksanakan pernikahan, beliau mengadakan pengajian di rumah mertuanya, pada saat itu ada sekitar 96 murid yang rata-rata usianya lebih tua daripada beliau yang ikut mengaji.

Pada waktu itu ada diantara santri yang bernama Imam Mawardi, KH. Masruri (Banyumas) dan Abdul Qodir (Bekasi) yang membuat brosur/plakat (surat edaran) tanpa sepengetahuan beliau, sebanyak 45 kitab yang dikhatamkan dalam 11 bulan, yang waktu itu beliau menetap dirumah mertuanya 11 bulan.

Dengan bertambahnya santri dan kurangnya sarana dan prasarana yang mamadai, akhirnya beliau berinisiatif untuk pindah ke-Kwagean bagian utara. Karena sudah pisah dari orang tuanya dan mertua, beliau harus berjuang mandiri baik terhadap sandang, papan, dan pangan keluarga juga terhadap rutinitas pengajian bagi para santri.

Untuk bisa menopang semua kebutuhannya dan keluarga, disamping berjuang tetap menjalankan rutinitas pengajian, beliau menjalankan usaha kecil-kecilan dengan berjualan singkong goreng, dengan hasil yang sangat minim beliau berusah mengumpulkan labanya untuk modal usaha lain yang dapat memenuhi kebutuhan keluarga, akhirnya beliau mencoba membudi dayakan ayam kampung, dengan penuh kesabaran usaha tersebut berlanjut sampai-sampai beliau dapat membeli ayam ± 400 ekor untuk dijadikan bibit.

Dengan usaha seperti itulah beliau jalani tanpa rasa bosan, akhirnya laba dari penjualan sedikit demi sedikit beliau kumpulkan untuk membeli sebidang tanah yang akhirnya menjadi Pondok Pesantren tercinta ini.

Pondok yang terkenal kesalafannya ini, pada mulanya bernama Miftahul ‘Ulum. Nama Miftah diambil dari asal kata Fataha yang berarti “Telah membuka” dengan tujuan agar Pondok ini menjadi sebuah pembuka segala sesuatu yang tertutup dan gelap. Sedangkan nama ‘Ulum sendiri tafa’ulan/tabarukan pada Pondok Roudlotul ‘Ulum Kencong, supaya tetap mendapatkan barokahnya.

Namun karena terjadi kesamaan nama dengan nama Pondok Miftahul ‘ulum-Jombangan Pare, juga dengan nama Pondok Mranggen Jawa Tengah yang diasuh oleh KH. Muslih (guru beliau waktu mengikuti pengajian kilatan berkala) maka diganti dengan “Fathul ‘Ulum”.

Lambat laun keorganisasian pun terbentuk layaknya Pondok Pesantren lain, akhirnya kebutuhan dan keadaan yang mengharuskan Fathul ‘Ulum membuka lembaga-lembaga otonom dalam naungannya. Akhirnya Fathul ‘Ulum diantaranya mendirikan Madrasah Diniyyah yang diberi nama Futuhiyyah.

Nama Futuhiyyah adalah nama yang memiliki kesesuaian dengan nama Podok induknya, dalam istilah nahwu Fathu dan Futuhiyyah adalah sama-sama musytaq (tercetak) dari fi’il madi Fataha.

Pada mulanya di Kwagean memang sudah terbentuk Madrasah Diniyah, yang di rintis ± Thn. 1974 M oleh para sesepuh dengan dibantu para pengajar dari Desa Kebon Sari yang pada waktu itu hanya memiliki tiga lokal, dan dalam penggunaannya siang untuk Putri dan malam untuk Putra. Setelah berjalan sekian lama, pada tahun 1983 M.

KH. Abdul Hannan muali andil dalam mengembangkan Madrasah tersebut, dengan menambah tenaga pengajar dari santrinya yang lambat laun Madrasah tersebut semakin berkembang seiring kemasyhuran beliau dikalangan masyarakat, sehingga Madrasah tersebut dirangkul dalam keorganisasian Pondok Fathul ‘Ulum, kemudian melihat pekembangan siswa yang signifikan mengharuskan penambahan sarana dan prasarana, yang asalnya memiliki tiga lokal, kini menjadi sebuah gedung putih berlantai tiga yang memiliki 12 lokal (Gedung Putih).

Menjadi Teladan

KH. Abdul Hannan Ma’shum, sebagai ulama dan pemimpin, menjadi teladan bagi masyarakat, terutama melalui kedalaman ilmu, kesantunan, serta sikap khosyyah yang ia miliki.

Sikap-sikapnya yang patut diteladani mencakup zuhud, mandiri, tawadhu, menjaga kebersihan dan kerapian, serta kesabaran dan kegigihan dalam prinsip.

Show More

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker